belum lama ini ada kejadian sensasional di manado. seorang ayah menebas tewas balitanya dengan parang, kemudian membawanya ke altar gereja dekat rumah. kesadisan pembunuhan ini membuat kepala pening membaca berita-beritanya, tapi saya lebih prihatin pada retorika psycho-religious yang muncul sesudahnya.
sebelum dilakukan diagnosis psikologis pada si ayah, beberapa pendeta telah angkat bicara. ini yang namanya kuasa setan, kata satu pendeta, si pembunuh telah kerasukan ajaran setan. si pelaku telah dikuasai iblis, kata pendeta yang lain, iblis telah memakai si ayah untuk membunuh anaknya sendiri. (untuk lengkapnya, lihat tulisan di harian komentar.)
retorika seperti ini membawa kita kembali ke abad 17 saat sains masih belum berkembang dan berbagai fenomena biologis dijelaskan dalam wacana religi. orang-orang yang sakit atau mengalami gangguan mental dikatakan kerasukan roh jahat. untuk menyembuhkan mereka, pendeta-pendeta melakukan eksorsisme, yaitu mengusir setan yang merasuk tubuh penderita. berbagai gejala penyakit mental seperti psikosis, histeria, mania, gangguan disosiatif, halusinasi -- bahkan epilepsi! -- pada jaman dulu dikategorikan sebagai kerasukan dan hasil guna-guna.
untunglah muncul orang-orang skeptis yang mencari jalan keluar lewat sains. mereka ini adalah filsuf dan kemudian ilmuwan (ada masanya ketika scientists tak dibedakan dari "philosophers"). bukan apa-apa, wacana yang ditawarkan gereja waktu itu hanya memberi jalan buntu. bayangkan kalau peradaban manusia masih tertahan pada kondisi itu -- obat diare pun mungkin kita belum punya.
para skeptis mengatakan, wacana "witchcraft" (guna-guna) dan "demonic possession" (kerasukan) yang dikembangkan oleh gereja pada jaman itu sebenarnya justru menguntungkan para pendeta untuk menggelembungkan pengaruhnya. "witchcraft" adalah pupuk untuk membentuk apa yang oleh filsuf thomas hobbes disebut sebagai "priestcraft" (otoritas pendeta). demonologi (wacana tentang iblis) dan eksorsisme memastikan bahwa orang akan terus terpesona pada kekuasaan gerejawi, bukan pada otoritas sekuler.
dengan alasan yang sama, retorika ajaran setan dan kerasukan iblis yang dikemukakan pendeta-pendeta di manado ini tidak menawarkan jalan keluar ataupun langkah curative (penyembuhan). bahkan terkesan self-serving atau demi kepentingan diri sendiri. karena ujung-ujungnya adalah pesan untuk mendekatkan diri pada tuhan, yang dalam hal ini berarti harus lebih dekat dan setia pada gereja, serta patuh pada pendeta. mungkin ada baiknya kalau pada hukum 10 ditambahkan: jangan mencatut nama tuhan dengan sembarangan.
yang lebih mengkhawatirkan adalah implikasi dari wacana demonologi yang berkembang dalam menghadapi kasus seperti ini. dengan mengatakan bahwa si pembunuh telah dirasuki iblis atau dikuasai setan, saya khawatir penanganan psikologis yang sebenarnya dibutuhkan malah dinomor-duakan. untuk kedepannya, asumsi umum telah terbentuk bahwa orang yang bertingkah laku ganjil lebih baik dibawah ke gereja daripada ke dokter.
selain itu, bukan tidak mungkin akan bermunculan copycats (peniru) atau maikel-maikel lain sebagai efek sugesti dari wacara demonologi ini. kasus orang-orang yang diberitakan sebagai pengikut ajaran sesat beberapa waktu lalu muncul pada saat yang berdekatan dan semuanya diekspos media dengan nada sensasional. bukan tidak mungkin bahwa maikel sendiri merupakan korban dari wacana-wacana tentang setan, lucifer dan kuasa kegelapan yang bersumber dari bapak/ibu pendeta sendiri, sehingga gangguan mental bawaannya justru diekspresikan dalam wacana ini.
ada baiknya kalau media massa di manado mengambil sikap yang lebih kritis dalam meliput kasus seperti ini. salah satunya dengan memprioritaskan dokter dan psikolog sebagai sumber kutipan, bukannya pendeta. memang betul, berita yang sensasional -- yang menjual tentang iblis dan setan -- selalu lebih laku daripada yang mengupas tentang psikosis atau gangguan mental. tapi bukankah media bertugas sebagai agen pencerahan, bukan penyebar kegelapan?
satu hal lagi yang sebetulnya lucu menurut saya. orang manado selama ini dikenal sebagai orang-orang yang berbudaya maju, bahkan agak kebarat-baratan. konstituen sulawesi utara merupakan salah satu yang paling pertama menolak RUU anti pornografi, yang paling pertama memiliki undang-undang anti trafiking (perda, ketika pemerintah nasional belum punya), dan yang geram bukan main ketika muncul berita tentang seorang kepala desa di minahasa yang memberlakukan hukum cambuk. hukum cambuk itu tidak manusiawi, dari jaman kebodohan dan identik dengan syariah, kata banyak orang.
tapi orang-orang yang sama bisa menelan bulat-bulan wacana tentang kekuasaan iblis dan ajaran setan yang dibungkus dalam retorika iman kristiani. mereka menolak jaman kebodohan, tapi mau saja dituntun kembali ke jaman kegelapan.
genta perdamaian berdentang tepat 8:15. pertandingan baseball di depanku pun terpotong. waktunya utk mengheningkan cipta. tapi mataku justru menatap layar tv -- untuk sesaat siaran pindah ke upacara di hiroshima. kepalaku tiba2 kosong.
berita2 di tv kemarin ttg hiroshima dan kejadian 62 tahun lalu. yg paling menyentuh adalah pemandangan seorang kakek yg menangis sendiri di depan kuburan masal utk korban tak dikenal (tak sempat diidentifikasi). ketika ditanya mengapa, si kakek menjawab, adiknya hilang sejak hari itu, dan karena tak tau, setiap 6 agustus dia ke situ.
kemarin, banyak yg meneteskan air mata di hiroshima. sebagian mereka, yg tua-tua, mengalami sendiri duka itu. tapi si kakek, rupanya dukanya belum lagi bisa ditutup.
berita2 di tv kemarin ttg hiroshima dan kejadian 62 tahun lalu. yg paling menyentuh adalah pemandangan seorang kakek yg menangis sendiri di depan kuburan masal utk korban tak dikenal (tak sempat diidentifikasi). ketika ditanya mengapa, si kakek menjawab, adiknya hilang sejak hari itu, dan karena tak tau, setiap 6 agustus dia ke situ.
kemarin, banyak yg meneteskan air mata di hiroshima. sebagian mereka, yg tua-tua, mengalami sendiri duka itu. tapi si kakek, rupanya dukanya belum lagi bisa ditutup.
Pretty soon you'd need more than a wealth report to run for an office in Indonesia. The law requires that all state officials file reports on their possession -- cash or otherwise -- before, during, and after their tenure. Recent development in the political scene suggests that you also need to be up-front regarding you marital history. You may need to disclose inventories of not only your assets, but also your spouses -- current or otherwise.
Or else Zaenal Ma'arif may come after you.
The ousted Deputy House Speaker has recently charged President Susilo Bambang Yudhoyono for lying about his marital status for admission into the military academy. He wasn't the bachelor he claimed to be but a married man with two children, so goes the allegation.
Zaenal's public accusation of Yudhoyono's veiled past has subsequently escalated into a legal merry-go-round that saw the two men going after each other with police complaints for slander. Zaenal has reportedly dropped his charges recently.
But the circus in our politics was set in motion a while ago. More precisely last December, when Zaenal married his second wife and the Reform Star Party (PBR) instantly recalled him from the deputy speaker position at the House of Representatives. Zaenal insisted that his polygamy was only an excuse for the dismissal, citing rivalry and disagreement with other party bigwigs as the real cause.
His recent incursion into Yudhoyono's marriage history, however, suggests that at the subconscious level Zaenal might have conceded his miscalculation; that he now believed he has been persecuted for polygamy and is out to get political foes with questionable marital standing. It's amazing what guilt can do.
Yet, with mounting hostility from many directions, Zaenal now tries to dodge the blame. "It all started with Hartono," he told the press of the former Army Chief of Staff who brought up the issue of Yudhoyono's past marriage during the 2004 presidential election campaign. But to be honest, Zaenal perhaps wanted to say that it all started with an irresistible divorcee named Yenni Natalia Lodewijk.
Left almost without defenses, Zaenal began wondering out loud why Hartono didn't get the same unforgiving reaction from Yudhoyono for similar allegation. Perhaps he forgot that the man is now president of the republic, not a mere presidential candidate. Also, someone should tell Zaenal, never mess with a man part of whose middle name spells "B-A-N-G"! You can get your political career killed.
Now that Zaenal is no longer the man he used to be -- in politics, that is -- one wonders what goes through the mind of Mrs. Zaenal no. 2 these days. Less than a year ago she was marrying one of the most powerful men in the country. Today she's married to an unemployed who has angered the most powerful man in the country. A lesson, perhaps, for fellow women: make sure he has a steady job before you tie the knot.
The lesson for men, if any, is to make sure that the knot doesn't in turn tie you up. Zaenal's decision to take a second wife has not only led to his discharge, but left him an outcast in politics. His conjugal gain has so soon turned into a political baggage. He has expressed desire to switch party, but so far found no takers. Now that he is a liability, party leaders know better than to bet against women voters in elections.
Still, you can't help but pity Zaenal. Especially now that he confessed to have lived in fear and received threats since he openly clashed with the president. Even though Yudhoyono has emphatically stated that his complaints against Zaenal were filed wholly as a private citizen, some people are fiercely defending "the honor of our president." Too fierce, perhaps, that it would be wise for Yudhoyono to publicly disown and condemn any foul play, done in his defense, against Zaenal.
After all, no matter how amusing our political carnaval has become -- with all the parades, fireworks, clowns, and tricksters -- nobody wants it turned into a freak show.
Or else Zaenal Ma'arif may come after you.
The ousted Deputy House Speaker has recently charged President Susilo Bambang Yudhoyono for lying about his marital status for admission into the military academy. He wasn't the bachelor he claimed to be but a married man with two children, so goes the allegation.
Zaenal's public accusation of Yudhoyono's veiled past has subsequently escalated into a legal merry-go-round that saw the two men going after each other with police complaints for slander. Zaenal has reportedly dropped his charges recently.
But the circus in our politics was set in motion a while ago. More precisely last December, when Zaenal married his second wife and the Reform Star Party (PBR) instantly recalled him from the deputy speaker position at the House of Representatives. Zaenal insisted that his polygamy was only an excuse for the dismissal, citing rivalry and disagreement with other party bigwigs as the real cause.
His recent incursion into Yudhoyono's marriage history, however, suggests that at the subconscious level Zaenal might have conceded his miscalculation; that he now believed he has been persecuted for polygamy and is out to get political foes with questionable marital standing. It's amazing what guilt can do.
Yet, with mounting hostility from many directions, Zaenal now tries to dodge the blame. "It all started with Hartono," he told the press of the former Army Chief of Staff who brought up the issue of Yudhoyono's past marriage during the 2004 presidential election campaign. But to be honest, Zaenal perhaps wanted to say that it all started with an irresistible divorcee named Yenni Natalia Lodewijk.
Left almost without defenses, Zaenal began wondering out loud why Hartono didn't get the same unforgiving reaction from Yudhoyono for similar allegation. Perhaps he forgot that the man is now president of the republic, not a mere presidential candidate. Also, someone should tell Zaenal, never mess with a man part of whose middle name spells "B-A-N-G"! You can get your political career killed.
Now that Zaenal is no longer the man he used to be -- in politics, that is -- one wonders what goes through the mind of Mrs. Zaenal no. 2 these days. Less than a year ago she was marrying one of the most powerful men in the country. Today she's married to an unemployed who has angered the most powerful man in the country. A lesson, perhaps, for fellow women: make sure he has a steady job before you tie the knot.
The lesson for men, if any, is to make sure that the knot doesn't in turn tie you up. Zaenal's decision to take a second wife has not only led to his discharge, but left him an outcast in politics. His conjugal gain has so soon turned into a political baggage. He has expressed desire to switch party, but so far found no takers. Now that he is a liability, party leaders know better than to bet against women voters in elections.
Still, you can't help but pity Zaenal. Especially now that he confessed to have lived in fear and received threats since he openly clashed with the president. Even though Yudhoyono has emphatically stated that his complaints against Zaenal were filed wholly as a private citizen, some people are fiercely defending "the honor of our president." Too fierce, perhaps, that it would be wise for Yudhoyono to publicly disown and condemn any foul play, done in his defense, against Zaenal.
After all, no matter how amusing our political carnaval has become -- with all the parades, fireworks, clowns, and tricksters -- nobody wants it turned into a freak show.
rupanya gereja lagi kurang kerjaan sampai ribut2 ttg harry potter (lihat artikel di bawah). kedengarannya, untuk pendeta2 yg protes dengan terbitnya buku injil menurut harry potter, cerita harry potter tdk bisa dibenarkan secara injil karena mengandung sihir. memangnya ada apa dengan sihir?
kalo dipikir-pikir, pada dasarnya iman kristen bertumpu pada kemampuan/kemauan untuk percaya pd hal2 yg mustahil -- to believe in the impossible. kalo tidak, gimana orang bisa percaya pada yesus yang menurut alkitab bisa menyembuhkan orang sakit, membangkitkan yg lumpuh, dan menghidupkan kembali yg sudah mati?
yg dilakukan yesus adalah hal2 yg tidak mungkin dan sulit diterima akal. tapi karena beriman, orang kristen musti percaya bahwa hal2 gaib tersebut betul2 terjadi. gereja menyebutnya "mujizat," yang (seperti juga "sihir") mengandung konotasi magical -- sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara rasional.
bedanya lebih pada penggunaan kedua kata. kita tdk pernah bilang tuhan yesus melakukan sihir, atau seorang dukun membuat mujizat. mujizat diasosiasikan dengan perbuatan baik, sedangkan sihir sering dikaitkan dengan hal negatif seperti tipuan (e.g. illusionist) atau guna-guna (witchcraft).
dalam pandangan mereka yg protes, tokoh harry potter adalah seorang penyihir (wizard), maka dengan sendirinya membawa kwalitas negatif yg tidak bisa direkonsiliasikan dengan injil. dangkal sekali pemikirannya!
~~~
SUARA PEMBARUAN DAILY
Ketika Buku Harry Potter Jadi Perdebatan Teologis
Demam Harry Potter (HP) su dah melanda dunia. Mulai dari anak-anak hingga orangtua sangat mengidolakan penyihir cilik ini. Bahkan setiap peluncuran bukunya yang biasanya diadakan tengah malam, selalu ramai dinanti para penggemarnya dengan mengenakan busana-busana ala penyihir.
Kini, HP mulai memasuki babak baru. Jika selama ini HP hanyalah sebagai buku fiksi biasa, sekarang si penyihir cilik sudah masuk ke ranah teologis. Adalah penerbit BPK Gunung Mulia yang menerbitkan buku berjudul Injil Menurut Harry Potter yang ditulis oleh Connie Neal. Dari judul bukunya saja, orang bisa menebak kalau buku setebal 248 halaman tersebut bakal menuai kontroversi.
Bagaimana mungkin, HP yang notabene adalah penyihir bisa masuk kitab suci Injil?
Menurut pengakuan beberapa staf BPK Gunung Mulia, hanya dalam hitungan hari sejak diluncurkan tahun ini, protes berupa pertanyaan-pertanyaan dari berbagai kalangan khususnya pendeta silih berganti datang ke itu.
Kontroversi seputar buku inilah yang membuat penerbit melakukan bedah buku akhir pekan lalu. Teolog Glorius Bawengan yang tampil sebagai pembahas saat acara bedah buku tersebut mengatakan, buku karangan Connie Neal itu membuka wawasan baru dalam berteologi.
Dikatakan, buku yang berjudul asli The Gospel according to Harry Potter itu mau menyatakan kalau tidak ada tafsir tunggal terhadap Injil. "Buku Injil Menurut Harry Potter ini memberikan tafsir baru terhadap Injil. Tidak boleh ada hegemoni tafsir," ujarnya.
Menurut dia, langkah Connie yang mengkonfrontasikan antara Injil dan HP merupakan hal biasa dan sah-sah saja dilakukan karena merupakan bagian dari sebuah imajinasi.
Dikatakan, adanya protes dari sejumlah kalangan terhadap buku tersebut harus disikapi bijaksana. Dia meminta agar pembaca tidak terjebak dalam simbol-simbol teologi tertentu sehingga mengaburkan makna yang mau disampaikan buku tersebut khususnya HP."Banyak orang mengatakan melihat Harry Potter berarti ikut okultisme. Saya katakan, kekuatan Injil bukanlah pada simbol yang dibawakan Harry, tetapi bagaimana kesanggupan Harry memerangi kejahatan, menjalin persahabatan dan kesetiakawanan. Saya kira tema buku ini sangat universal, " katanya.
Hal serupa juga mau dikatakan penulis Andar Ismail. Dalam kata pengantarnya dalam buku tersebut, Andar mengatakan, pembaca buku ini jangan terlalu cepat menghakimi kalau buku ini sudah dirasuki sihir HP.
Andar menegaskan kalau buku ini sama sekali tidak menggarisbawahi sihir bahkan buku ini justru menyoroti praktek okultisme (sihir) dengan terang Injil Kristus. Pengarang buku Seri Selamat ini meminta agar para pembaca lebih melihat tujuan yaitu fungsi pedagogis dibalik cerita ketimbang simbol-simbol.
Di balik cerita HP, kata Andar, mengandung banyak nilai pedagogis. Melalui 1001 macam hambatan dan solusi yang ditangani HP dan kawan-kawannya, pembaca dapat melihat nilai-nilai seperti prakarsa, rasa ingin tahu, tabah, tekun, kreatif, inovatif, bersahabat, kerjasama, kesetiaan, jujur, menolong, mandiri, mau bersusah dan berlelah, tahan banting, dan banyak lainnya.
"Dalam bukunya ini, Connie mengajak kita melihat dalam cerita Harry Potter terkandung banyak tema-tema Injil Kristus yang dipraktikkan para pelaku, misalnya mengampuni, mengasihi, merangkul yang tersisih, bertekun dalam derita, murah hati, berharap, menolong yang tak berdaya, melawan kuasa jahat, dan lainnya," ujarnya.
Hati-hati
Tetapi lepas dari pendapat pribadi Bawengan dan diperkuat Andar itu, tentu saja kehatian-hatian harus tetap ada. Sebab, kalau pendapat itu menjadi acuan, maka jangan heran kalau bermunculan penafsir kitab suci dengan kebebasan imajinasinya sendiri, lalu diklaim sebagai sebuah kebenaran.
Sadar atau tidak, kebebasan menafsirkan kitab suci seperti itulah yang memberi peluang munculnya banyak sekte-sekte dalam gereja dewasa ini. Karena saling mengklaim kebenaran, maka gerakan ekumenis di kalangan Kristen sendiri makin jauh dari harapan, bahkan bisa jauh dari ajaran Kristus sendiri. [SP/Erwin Lobo]
Last modified: 1/8/07
kalo dipikir-pikir, pada dasarnya iman kristen bertumpu pada kemampuan/kemauan untuk percaya pd hal2 yg mustahil -- to believe in the impossible. kalo tidak, gimana orang bisa percaya pada yesus yang menurut alkitab bisa menyembuhkan orang sakit, membangkitkan yg lumpuh, dan menghidupkan kembali yg sudah mati?
yg dilakukan yesus adalah hal2 yg tidak mungkin dan sulit diterima akal. tapi karena beriman, orang kristen musti percaya bahwa hal2 gaib tersebut betul2 terjadi. gereja menyebutnya "mujizat," yang (seperti juga "sihir") mengandung konotasi magical -- sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara rasional.
bedanya lebih pada penggunaan kedua kata. kita tdk pernah bilang tuhan yesus melakukan sihir, atau seorang dukun membuat mujizat. mujizat diasosiasikan dengan perbuatan baik, sedangkan sihir sering dikaitkan dengan hal negatif seperti tipuan (e.g. illusionist) atau guna-guna (witchcraft).
dalam pandangan mereka yg protes, tokoh harry potter adalah seorang penyihir (wizard), maka dengan sendirinya membawa kwalitas negatif yg tidak bisa direkonsiliasikan dengan injil. dangkal sekali pemikirannya!
~~~
SUARA PEMBARUAN DAILY
Ketika Buku Harry Potter Jadi Perdebatan Teologis
Demam Harry Potter (HP) su dah melanda dunia. Mulai dari anak-anak hingga orangtua sangat mengidolakan penyihir cilik ini. Bahkan setiap peluncuran bukunya yang biasanya diadakan tengah malam, selalu ramai dinanti para penggemarnya dengan mengenakan busana-busana ala penyihir.
Kini, HP mulai memasuki babak baru. Jika selama ini HP hanyalah sebagai buku fiksi biasa, sekarang si penyihir cilik sudah masuk ke ranah teologis. Adalah penerbit BPK Gunung Mulia yang menerbitkan buku berjudul Injil Menurut Harry Potter yang ditulis oleh Connie Neal. Dari judul bukunya saja, orang bisa menebak kalau buku setebal 248 halaman tersebut bakal menuai kontroversi.
Bagaimana mungkin, HP yang notabene adalah penyihir bisa masuk kitab suci Injil?
Menurut pengakuan beberapa staf BPK Gunung Mulia, hanya dalam hitungan hari sejak diluncurkan tahun ini, protes berupa pertanyaan-pertanyaan dari berbagai kalangan khususnya pendeta silih berganti datang ke itu.
Kontroversi seputar buku inilah yang membuat penerbit melakukan bedah buku akhir pekan lalu. Teolog Glorius Bawengan yang tampil sebagai pembahas saat acara bedah buku tersebut mengatakan, buku karangan Connie Neal itu membuka wawasan baru dalam berteologi.
Dikatakan, buku yang berjudul asli The Gospel according to Harry Potter itu mau menyatakan kalau tidak ada tafsir tunggal terhadap Injil. "Buku Injil Menurut Harry Potter ini memberikan tafsir baru terhadap Injil. Tidak boleh ada hegemoni tafsir," ujarnya.
Menurut dia, langkah Connie yang mengkonfrontasikan antara Injil dan HP merupakan hal biasa dan sah-sah saja dilakukan karena merupakan bagian dari sebuah imajinasi.
Dikatakan, adanya protes dari sejumlah kalangan terhadap buku tersebut harus disikapi bijaksana. Dia meminta agar pembaca tidak terjebak dalam simbol-simbol teologi tertentu sehingga mengaburkan makna yang mau disampaikan buku tersebut khususnya HP."Banyak orang mengatakan melihat Harry Potter berarti ikut okultisme. Saya katakan, kekuatan Injil bukanlah pada simbol yang dibawakan Harry, tetapi bagaimana kesanggupan Harry memerangi kejahatan, menjalin persahabatan dan kesetiakawanan. Saya kira tema buku ini sangat universal, " katanya.
Hal serupa juga mau dikatakan penulis Andar Ismail. Dalam kata pengantarnya dalam buku tersebut, Andar mengatakan, pembaca buku ini jangan terlalu cepat menghakimi kalau buku ini sudah dirasuki sihir HP.
Andar menegaskan kalau buku ini sama sekali tidak menggarisbawahi sihir bahkan buku ini justru menyoroti praktek okultisme (sihir) dengan terang Injil Kristus. Pengarang buku Seri Selamat ini meminta agar para pembaca lebih melihat tujuan yaitu fungsi pedagogis dibalik cerita ketimbang simbol-simbol.
Di balik cerita HP, kata Andar, mengandung banyak nilai pedagogis. Melalui 1001 macam hambatan dan solusi yang ditangani HP dan kawan-kawannya, pembaca dapat melihat nilai-nilai seperti prakarsa, rasa ingin tahu, tabah, tekun, kreatif, inovatif, bersahabat, kerjasama, kesetiaan, jujur, menolong, mandiri, mau bersusah dan berlelah, tahan banting, dan banyak lainnya.
"Dalam bukunya ini, Connie mengajak kita melihat dalam cerita Harry Potter terkandung banyak tema-tema Injil Kristus yang dipraktikkan para pelaku, misalnya mengampuni, mengasihi, merangkul yang tersisih, bertekun dalam derita, murah hati, berharap, menolong yang tak berdaya, melawan kuasa jahat, dan lainnya," ujarnya.
Hati-hati
Tetapi lepas dari pendapat pribadi Bawengan dan diperkuat Andar itu, tentu saja kehatian-hatian harus tetap ada. Sebab, kalau pendapat itu menjadi acuan, maka jangan heran kalau bermunculan penafsir kitab suci dengan kebebasan imajinasinya sendiri, lalu diklaim sebagai sebuah kebenaran.
Sadar atau tidak, kebebasan menafsirkan kitab suci seperti itulah yang memberi peluang munculnya banyak sekte-sekte dalam gereja dewasa ini. Karena saling mengklaim kebenaran, maka gerakan ekumenis di kalangan Kristen sendiri makin jauh dari harapan, bahkan bisa jauh dari ajaran Kristus sendiri. [SP/Erwin Lobo]
Last modified: 1/8/07