Greetings

Welcome to my blog! You are visitor no. web counter. Feel free to look around. If you have any question, send me an email; otherwise, please leave a message on my board. thanks!


Playlist





Tagboard



Frequents


Archive


Credits


The American Dream (and Nightmare)


Every time she spoke of her daughter, Holly's eyes sparkled. Her eldest child was a pre-med student and last fall she was to go on to a medical school. They rarely saw each other, as the daughter was "always very busy with school." The few times a year she managed to schedule a trip home, Holly would spoil her with feasts of her favorite dishes.

Holly and her fellow migrant worker Ping were the two caretakers assigned to our graduate student dorm. It is run by the university, which makes Holly and Ping university employees. We students refer to them as "the cleaning ladies." But the two middle-aged Cantonese more than cleaned our facilities and the public areas and removed our refuse; occasionally they doled out sweets from China and, at least once, homemade pastries.

In my last year at school, to stay close to the library, I took up residence at a university apartment three blocks away from the campus south gate. Unlike most students in the building, I stayed home writing my dissertation and regularly chanced on the cleaning staff. After an accidental lockout more specifically, where Holly came to my rescue, we would exchange more than courteous greetings whenever she came in or we ran into each other in the hallways. That was how I got to know more about her.

Holly and her husband had migrated to the United States with their two small children. I never asked what her husband did for living, but from her remarks, I imagined it didn't procure much more than what she received from the university. They managed, however, to send the children to college. The daughter, if things go as planned, will become a pediatrician in several years, and the son is not far behind in the ascending social ladder.

I used to marvel at the American dream, which seemed to unfold so hurriedly for Holly and her fellow immigrants. One of my roommates there went to MIT while her immigrant father cheffed at a Chinese eatery. Only in America, so they say, a family moves up from being janitors to physicians, waiters to corporate executives over one generation. Their success stories compelled me to be cautious in my critique of capitalism. As Holly might attest, few other systems could offer broader alternatives and faster track to economic improvement. If she can profit from it, who am I to say that capitalism is detrimental to humanity? The millions of new immigrants in the US (and those who insist on coming, albeit unlawfully) seem to prove me wrong.

And it doesn't seem to matter that once in America, immigrants are thrown out of their comfort zone. While Holly was fairly articulate, Ping was timid and struggling with English. At times I caught her studying, during lunch breaks, in a narrow storeroom for janitorial equipments. "We will have a test this afternoon," she would say blushing. The university encourages them to take courses of English, which, starting last year, has been designated the national language.

But more often I found her listening to Chinese radio broadcasts. Does she miss home? I had wondered. But through cultural aphasia and moments of pensiveness, our cleaning ladies mopped on,  for the spouse at home or at work, for the children at college, for those yet to be born -- for the American fairy godmother to turn midnight-blue janitorial pants into daughters' Cinderella gowns.

It is thus heartbreaking when a dream turns into nightmare.

The tragedy at Virginia Tech is nightmarish for so many reasons. The brutality, the pain, and the loss are too real. And as the media began to spotlight the familial background of the gunman Seung-hui Cho, my thoughts went to Holly and her immigrant co-workers.


Cho's family, we are told, had emigrated from South Korea in 1992 in pursuit of a better life. Working long hours at dry-cleaning shops, his parents were able to send his elder sister to Princeton University and Cho to Virginia Tech. From a "dingy basement apartment" in Seoul, the second generation Chos moved up to top-tier universities in America. A classic story of the American dream, it would have been, if Cho didn't just turn it into a living nightmare.

The killings at Virginia Tech have rightly set off lengthy discussions on school safety, the university accountability, mental illness, and finding the right balance between privacy of  mental health patients and community safety. But not nearly as much attention is given to the issue of gun control. The US presidential candidates would rather stay away from this sensitive subject; while for the media, gun control debates don't carry as much news value as, say, Cho's Korean background.

For some of us who followed this tragedy from a distance, it's all too obvious -- guns take lives and shatter dreams.

Brain-storming?


"the brain ... is a most important sexual organ."
--d.h. lawrence (as quoted by maureen dowd in her article)

tjap tjay: it gives a new spin to the phrase "to fuck one's brain out."

They Broke My Heart in Nagasaki


sesudah berpisah dengan ben di platform subway, kami pulang utk siap2 ke nagasaki. just enough time to do laundry, ngepel lantai, dan istrahat. esok paginya kami sudah di kereta menuju haneda airport. tapi ada kecelakaan di jalur kereta, hingga kami terpaksa mengambil rute memutar lewat stasiun tokyo utk kemudian naik monorail. di mana2 terlihat orang berlarian. gangguan kereta telah mengacaukan jadwal perjalanan mereka ke kantor. kami pun ber-debar2, berharap tidak ketinggalan pesawat. we made it!

di atas monorail, sekitar beberapa meter dr tempat kami duduk, serombongan pemuda indonesia berdiri. mereka pun tujuan haneda. aku tau mereka dari indonesia krn ada yg berpeci, lengkap dengan bros garuda emas -- persis yg dipakai soeharto waktu masih jadi raja. aku tersenyum -- sudah lama tdk lihat orang berpeci birokrat begitu. apalagi karena asesori tsb sangat kontras dengan penampilannya dengan winter parka. pemuda2 ini rata2 bertubuh sedang dengan crew cut. are they military trainees? but why in japan?

sesudah hampir 2 jam di pesawat, kami tiba di nagasaki. kota berbukit dengan jembatan2 antik dan gedung berkarat, begitu kesanku. tremnya mengingatkan aku pada tulisan idrus, "kota-harmoni." tapi nagasaki punya pesona sendiri karena sejarahnya yg unik. sebelum reformasi meiji, selama berabad-abad jepang menutup diri dari hubungan dengan dunia luar. hanya pelabuhan2 nagasaki yg dibuka utk pedagang asing -- kebanyakan di antaranya dr cina, portugis dan belanda. pulau buatan dejima adalah trading post utk pedagang/pelaut belanda. lokalisasi rasial ini utk menahan pengaruh asing dan penyebaran agama kristen.

di dejima ada rumah utk kapten kapal, gudang2 beras, semacam barak utk crew kapal, dan gereja protestan. pelaut2 belanda biasanya tinggal di sana antara april sampai november. rekonstruksi "material culture" mereka dijadikan eksibisi, termasuk video clips ttg kehidupan mereka sehari-hari. menurut cerita, pembantu2 rumah tangga mereka kebanyakan didatangkan dari jawa. lucunya, pria2 jawa ini digambarkan sangat lancar berbahasa belanda.

tapi sebelum trading posts ini didirikan, lebih dulu telah ada pusat2 penyebaran agama katolik yg dibawa oleh misioner2 dr portugis. selama ini aku menganggap bhw kedatangan orang2 eropa ke asia adalah utk keperluan dagang, sebelum akhirnya membawa pengaruh agama kristen. tetapi jejak misi katolik di nagasaki yg jauh lebih tua dari peninggalan2 yg berkaitan dengan operasi dagang eropa, membuatku ragu2. franciscus xaverius datang ke nagasaki pd thn 1549, beberapa tahun sesudah dia ke ambon. rupanya kaum berjubah tidak kalah nekat dlm melakukan misinya dibanding para pedagang/pelaut.

penyebaran agama katolik berlangsung sangat cepat di nagasaki. mungkin terlalu cepat hingga membuat para daimyo (feudal lords) merasa terancam dan akhirnya mengusir para pendeta dan mengharamkan agama kristen mulai thn 1580-an. di tahun 1597, 26 orang katolik (pastor dan orang biasa, orang eropa dan orang jepang, franciscan dan jesuit, orang dewasa dan 3 anak tanggung) disalibkan di bukit nishizaka, nagasaki.

pembantaian pun terus terjadi sepanjang abad ke 17, di mana orang2 yg dicurigai katolik disuruh melakukan fumie -- menginjak gambar atau patung yesus. semua ini diceritakan di museum utk para martir, juga digambarkan dengan bagus dlm novelnya endo shusaku yg berjudul silence (1966), termasuk dilema seorang pastor yg terjepit antara menyelamatkan umatnya (dengan menyangkali yesus) atau membiarkan mereka menghadapi pembantaian. martin scorsese sedang mengerjakan novel ini ke dalam bentuk film.

duduk merenung di bukit nishizaka sambil memandang patung2 para martir tsb, mataku menjadi basah. apalagi melihat pahatan wajah ke 3 anak laki2 yg keliatannya tdk lebih dari 13 thn yg turut menjadi martir di bulan february 1597 itu. aku terharu pd kepercayaan yg begitu utuh, yg tanpa bertanya. tapi juga penasaran pd para pastor -- para gembala! -- yg menuntun domba2nya ke penjagalan. apakah menjadi martir merupakan pernyataan kekristenan yg termulia? bukankah inti dari kekristenan adl hidup seturut yg diajarkan yesus, dan bukan utk label "kristen" itu sendiri? bukankah yesus sendiri bukan orang kristen dan tdk pernah menyebut dirinya "kristen"?

selama ber-abad2 banyak terdapat "hidden christians" di nagasaki, sampai restorasi meiji membebaskan mereka dari religious closet. karena itu banyak jejak budaya katolik di sana, antara lain adalah urakami cathedral dan oura cathedral. sehingga utk jalan2 kali ini aku bisa disebut sebagai turis, peneliti, juga pilgrim. katedral urakami hanya beberapa ratus meter dari hypocenter bom atom, dan yg tinggal sekarang hanyalah rekonstruksinya, bukan gedung aslinya.

saat ke katedral oura, kami berpapasan dengan rombongan raja dan ratu swedia yg ternyata tinggal di hotel yg sama dengan kami. padahal hotel itu termasuk sepi penghuni -- mungkin justru krn itu jadi pilihan mereka. awalnya kami sempat heran karena banyaknya petugas2 keamanan berpenampilan parlente mondar-mandir di elevator. nobuto bahkan sempat menyalami sang raja dengan "good morning" saat berpapasan di elevator. sesudah bertemu lagi di tangga katedral oura, dan bertanya pada petugas keamanannya, baru kami tahu bhw pria setengah tua bersetelan mahal itu adalah raja swedia.

yg paling menyentuh dari perjalanan kami adalah monumen di hypocenter bom nagasaki dan museumnya. dalam cuaca musim semi yg cerah dan tiupan angin selatan yg hangat, di antara pohon2 sakura yg mekar penuh, kicauan burung, orang2 berpiknik, anak kecil berlarian, dan penjual es krim yg mengantuk, aku berdiri seperti lumpuh di hadapan kolom marmer hitam dengan karangan bunga segar di altarnya. tak mampu kubendung air mata membayangkan siang celaka itu -- 9 agustus 1945 jam 11:02. sesudah melewati ini semua, sesudah menjadi satu2nya negara yg pernah hangus oleh bom atom, sesudah bangkit dari reruntuhan, bagaimana mungkin pemerintah jepang sekarang bisa begitu cepat lupa dan hendak turut dalam perlombaan nuklir?

dengan mataku masih sembab, kami ke museum di samping taman itu. tdk sedetail museum serupa di hiroshima, yg mencatat jumlah korban 2 kali lipat dari nagasaki, tapi tetap saja sangat menggugah rasa kemanusian. terasa ada yg remuk di dada melihat foto seorang bocah menggendong adik laki2nya yg penuh luka bakar. ibu dan kakak perempuan mereka tewas seketika dalam ledakan nuklir itu, dan si bocah dengan susah payah menggendong adiknya ke rumah saudaranya utk meminta pertolongan. tapi yg didapatinya hanya kerangka rumah yg telah menjadi abu dan tubuh2 gosong di dalamnya.

di peace memorial park banyak monumen persembahan dari negara2 lain utk memperingati kekejian di nagasaki itu. anehnya, kebanyakan patung2 ini adalah pemberian dari negara2 blok timur di masa perang dingin -- cina, uni soviet (bahkan ada yg khusus dr CCCP), polandia, hungaria, dll. terasa bahwa pemberian ini sarat dengan pesan politik -- bhw amerika adalah penjahat kemanusian terbesar dlm sejarah modern (which is not entirely inaccurate). tidak heran bhw amerika tdk menyumbang apa pun, karena hal itu akan menjadi semacam pengakuan akan kekejiannya. pemerintah di mana2 sungguh sangat menjijikan!

waktu ke nagasaki kami tidak membawa laptop, juga tdk berusaha utk mencari koneksi internet. sesudah sekitar seminggu tidak membaca berita, rupanya banyak yg telah terjadi -- chrisye sudah meninggal dan hubungan iran-inggris memanas. minggu depan semester dimulai, aku masih belum selesai menyiapkan kelasku. 3 minggu ke depan kami akan luar biasa sibuk dengan kelas, packing, dan pindahan. taman bungaku yg selama ini terlantar mulai mirip hutan dengan beberapa kuntum sakura dan magnolia di sela2nya.

A Workshop, a "Rock Star," and a Shogun


dua minggu belakangan ini aku hampir gak pernah di rumah. mulanya karena workshop 3 hari yg diselenggarakan universitas keio, dengan nobuto sebagai salah satu penanggung jawab. pesertanya adl mahasiswa2 doktoral yg studi ttg nasionalisme di asia. mereka datang dr hongkong, cina, korea, filipin, malaysia, kanada, usa dan jepang sendiri. sayang sekali tdk ada dr indonesia, padahal semua ongkos tiket roundtrip, hotel dan excursion di tokyo ditanggung oleh universitas.

ada 2 hari utk public lectures, dengan keynote speakers ben anderson dan nicholas dirks. nobuto berhasil membujuk dosen pembimbingnya di cornell utk turun gunung ke tokyo. apalagi karena topiknya nasionalisme -- siapa lagi yg lebih pantas drpd ben? utk speaker ke 2, awalnya aku sarankan aihwa ong, tapi jadwal doi sdh penuh pd tanggal2 tsb. akhirnya kami dapatkan dirks yg pakar postcolonial studies dan south asia (utk mengimbangi ben yg lebih berat ke southeast asia).

dari jumlah pengunjung, terlihat bhw orang jepang tdk begitu peduli pada south asia -- which is weird -- karena pamor india sbg kekuatan ekonomi sdg naik. mungkin juga karena ben lebih punya nama dan lebih piawai dlm comparative analysis -- doi bisa ngomong dr soal taiwan sampe latin amerika sampe eropa. gak heran selama di sini para mahasiswa memperlakukan doi spt rock star -- dari peserta workshop sampai pengunjung lecture pada minta tanda tangannya (bahkan ada yg minta tanda tangan di secarik kertas).

hari terakhir doi di keio secara kebetulan udara menjadi hangat dan bunga2 sakura mulai bermekaran. bertiga kami jalan2 di halaman kuil zoujoji di bawah tokyo tower. hari itu banyak orang ber-hanami, yaitu duduk berkelompok di bawah sakura sambil minum bir atau sake, makan dan karaoke. kami hanya minum bir sambil ngobrol, rupanya ben alergi dengan karaoke (walaupun di antara kami, mungkin cuma nobuto yg bisa nyanyi). di zoujoji rupanya ada kubur utk keluarga ieyasu tokugawa dan sepotong organ tubuh sang shogun. utk menghormati tokugawa sbg penyatu jepang, bagian2 tubuhnya dikuburkan di berbagai penjuru.

hal ini lantas menjadi bahan lelucon kami. penguasa2 jaman dulu kebanyakan beristri banyak, kataku, i wonder kalau mereka juga di-ieyasu-kan sesudah mati -- yaitu anggota2 tubuhnya dibagi-bagi antara istri2nya. ben tertawa dan bilang, karena itu bagusnya dikremasi saja sesudah mati spy gak repot. walaupun dikremasi tetap saja bisa dibagi-bagi, jawabku, sehingga surat wasiatnya bisa berbunyi: untuk istri pertama 300 gram abu dan 30 gram emas, utk istri kedua 200 gram abu dan 20 gram emas, dst.

fantasi2 gila ini berakhir waktu ben dijemput kawannya, seorang dosen bahasa indonesia yg baru selesai menerjemahkan novel pram rumah kaca ke dalam bahasa jepang. menurut oshikawa-sensei, pram sulit menang nobel prize karena terjemahan bahasa inggris novel2nya sangat buruk.

(bersambung)