Greetings

Welcome to my blog! You are visitor no. web counter. Feel free to look around. If you have any question, send me an email; otherwise, please leave a message on my board. thanks!


Playlist





Tagboard



Frequents


Archive


Credits



sudah seminggu ini aku ikut kursus bahasa jepang intensive di YWCM. kursusnya mulai jam 10 pagi sampai jam 3 sore, kemudian dilanjutkan dengan acara pengenalan budaya jepang di hari2 tertentu. so far so good -- i like my class a lot. aku di kelas beginners bersama seorang pria swiss-italian yg menikah dengan wanita jepang, dan seorang cewek aussie yg mengajar bahasa inggris di jepang (program JET). kebanyakan peserta kursus adl orang2 JET -- 3 cewek dr amrik, 1 aussie, 1 new zealander -- ditambah aku sendiri, italian yg sekelas denganku, 1 perempuan taiwan seusiaku yg juga menikah dng org jepang, dan 1 lagi perempuan hongkong yg ayahnya bekerja di tokyo.

kelas yg kecil membuat kami bisa belajar lebih banyak dan lebih cepat dr yg dijadwalkan. lebih dr itu, karena hanya bersembilan (total dr 3 kelas), kami bisa cepat akrab krn sering keluar lunch bareng. so far, favoritku adl si maria, cewek new zealand yg very sweet dan sopan. penny, gadis aussie di kelasku, juga menyenangkan. terutama karena orangnya sangat santai, dan suka menciptakan kata2 baru jika dia lupa kata jepangnya. contohnya kemarin sore ketika kami belajar kata sifat dlm bhs jepang. kata "takai" (mahal), misalnya, berubah menjadi "taka-katta" dalam past tense. tapi waktu disuruh membuat kalimat, si penny dng kalang-kabut melontarkan semua kemungkinan: tataka, tata-takka, taka-kakka, dan yg membuat kami ngakak, taka-taka.

(to be continued when i have time tomorrow)


Nation-state Reconsidered

Almost six decades ago, Hannah Arendt lamented the proliferation of nation-states as the source of modern political problems. The dissolution of old empires such as the Austro-Hungarian, the German-Jewish philosopher claims, had given way to the emergence of new states that were established along the lines of ethno-nationalities. The emergence of these states, in turn, made questions those of different nationalities -- primarily the Jews of Eastern Europe -- who happened to reside within the states' jurisdiction at the time of independence. As the new polities were founded and organized along nationality lines -- nation-states, they're called -- those of minor nationalities found themselves in tricky situations: compulsorily assimilated, repatriated, expulsed, or simply stateless. In Hitler's Germany, later on, they were "liquidated" in gas chambers.

The Jewish problem -- such massive statelessness was referred to -- eventually was solved by way of mass relocation to Palestine; but the problem of the nation-state continues. This is because the solution to the Jewish problem, says Arendt, was "by means of a colonized and then conquered territory," which in turn produced a new group of refugees -- the Palestinians.

The problems, in Arendt's opinion, lie in the very structure of the nation-state. To begin with, the nation-state is conditioned on the homogeneity of its population. At the very least, it always strives for homogenization. Secondly, in the nation-state, only nationals become citizens, or are treated as such. Those of different nationals, they become "minorities" and require additional laws of exception and protection until they become fully assimilated. Thirdly, in the scheme of nation-states, the state is transformed from an instrument of law to an agent of the nation (qua the majority). As such, it places the national (majority's) interests above the law.

More importantly, to infer from Arendt's Origins of Totalitarianism, the nation-state serves as a conceptual and political tool on deciding who belongs or does not belong to the "nation." Defined by the majority and prioritized over the law, the "nation" in turn becomes an instrument of imposition, subjugation, even Hitler-style "liquidation."

In short, Arendt forces us to ask: Is nation-state good for us?

In less than a month, we -- members of the Indonesian nation -- will be celebrating the 61st anniversary of our national sovereignty. But in light of recent debates on the nation's basic principles, ideology, legal directions, and constitution, it is perhaps more fruitful to use this happy occasion not to self-congratulate on our supposed freedom from foreign domination, but to contemplate on our collective journey, on what we've become, and where things -- if any -- might have gone amiss.

Considering the intense and potentially divisive debates on the anti-pornography bill, the sharia-based bylaws, the principles of plurality, and the call to return to the 1945 Constitution, it is safe to say that, at some historical junctures, the trajectory of this nation-state of ours begs for reconsideration.

Taking cues from Hannah Arendt, we can perhaps begin by asking: Why is Indonesia a nation-state? Why did our foreparents choose a form of polity in which national origin, not just laws, became its legitimizing and governing foundation? Is there an alternative? And would such question -- an amendment of the state's format, its raison d'etre -- even be publicly and politically admissible?

I had to admit that, to a great extent, Arendt was right about the nation-state's penchant for homogenization. It used to be the guiding light for centralization in the Old and New Orders; today it's the rationale for sweeping rules on such relative and private matters as faith, articulations of affection, manners, morality, tradition, and aesthetics. It supplies some people the justification for the singularization of interpretation and meaning. Such homogenizing mechanisms are being proposed and imposed in the name of the majority. Dare we thus propose that the ghost of the majority be exorcised from the state?

Arendt didn't equip us with an opposite scenario -- if we are to amputate the nation from the state -- but it doesn't prevent us from conjuring. The state, I imagine, becomes an apparatus of strictly secular law. Customs, religious tenets, or local cultural codes will then apply exclusively to respective supporting communities. This way, imposition of values will be kept at a minimum, perhaps across generation, but less likely across cultures. Additionally, without a hegemonic model of what constitutes "Indonesian," genuine plurality can begin to set in -- not the worn-out, empty rhetoric of the New Order's Bhinneka Tunggal Ika.

Most promising of all, if "Indonesia" is simply a state and not a nation, there would only be citizens, all equal in the face of the law. No more minorities, "asli" (indigenous), "keturunan" (of foreign descent), forced assimilation, repatriation, mass denationalization, or -- as some Papuans will tell you -- genocide.

On the surface it sounds like a utopia, unless of course one is of the majority, who by default constitutes the nation. And it appears plausible until one argues that secularism is not inherent in the structure of the state, thus would itself be a form of imposition.


Blasphemy


Sekali lagi orang-orang Yahudi mengambil batu untuk melempari Yesus. Kata Yesus kepada mereka: "Banyak perbuatan baik yang telah Kulakukan di hadapanmu; perbuatan manakah di antaranya yang menyebabkan kamu mau melempari Aku?" Jawab orang-orang Yahudi itu: "Bukan untuk suatu perbuatan baik maka kami mau melempariMu, melainkan karena Engkau menghujat Allah dan karena Engkau, sekalipun hanya seorang manusia, mengaku sebagai Allah." (Yohanes 10:31-33)

Ada yang menarik dalam kitab yang ditulis oleh rasul Yohanes, yang tidak tertulis dalam kitab injil lainnya. Dalam tulisan Yohanes, Yesus digambarkan dalam citra yang lebih manusiawi. Yaitu sebagai manusia yang mampu melakukan berbagai keajaiban, tetapi juga yang bisa menangis, yang punya ketakutan dan ketidak-berdayaan. Sebagai contoh adalah episode dalam kutipan di atas.

Saat menghadapi amarah orang-orang Yahudi yang menuduhnya melakukan penghujatan, setelah gagal membela diri dengan kata-kata, Yesus diceritakan melarikan diri. Ketika orang banyak yang marah mulai memungut batu untuk melemparinya, Yesus bahkan lari bersembunyi, sebelum kemudian menyelinap keluar dari bait Allah. Alkitab berbahasa Indonesia terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia hanya menyebutkan bahwa Yesus "menghilang dan meninggalkan bait Allah." Tetapi dalam New King James Version, jelas tertulis bahwa Yesus "hid Himself" (menyembunyikan diri), dan lari dari kepungan massa. Episode ini, di mana Yesus diceritakan melarikan diri, bahkan terjadi lebih dari sekali.

Tidak mengherankan bahwa ketika Yesus akhirnya tertangkap dan dihakimi, para prajurit Romawi yang menyiksanya sempat pula mengejeknya. Jika benar Yesus adalah Tuhan seperti pengakuannya, "cobalah bebaskan dirimu sendiri dari tiang salib itu," tantang mereka. Tersirat keganjilan bahwa orang yang bisa membuat air menjadi anggur, meredakan taufan dan ombak, menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang lumpuh, dan menghidupkan orang mati, ternyata tidak berdaya melindungi dirinya sendiri. Maka ketika Yesus tidak menunjukan perlawanan, makin yakinlah orang-orang yang menghukumnya, bahwa Yesus hanyalah manusia biasa yang telah melakukan penghujatan dengan mengaku Allah.

Blasphemy atau penghujatan terhadap Allah, lebih dari tindakan kriminal, adalah sebuah dosa. Merampok atau membunuh tidaklah separah menghujat -- setidaknya begitu menurut mereka yang memilih mengampuni Barabas daripada Yesus.

Kekukuhan manusia untuk menghukum orang yang dianggap menghujat ternyata juga tak mengenal batasan yurisdiksi, dan tak lekang oleh waktu. Hampir dua millennia sesudah orang-orang Farisi dan Saduki menyalibkan Yesus, pada 29 Juni yang lalu, Pengadilan Negri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman penjara dua tahun kepada pemimpin komunitas Tahta Suci Eden, Lia Aminuddin, dengan tuduhan yang sama -- penodaan agama. Lia Aminuddin telah membuat murka sebagian orang karena mengaku penjelmaan malaikat Jibril dan Bunda Maria. Akhir Desember tahun lalu, rumah Lia yang juga pusat komunitas Eden dikepung oleh orang-orang yang resah dengan ajarannya. Seminggu sebelumnya, MUI telah memfatwakan ajaran Tahta Suci sebagai aliran sesat.

Selain blasphemy, diberitakan bahwa Lia Aminuddin juga telah mengurbankan anak seorang pengikutnya lewat pembakaran dalam suatu ritual. Tuduhan yang satu ini terkesan sebagai "bumbu" dan bukan kejahatan utama karena minimnya liputan yang detail tentang hal ini. Tetapi menarik untuk dipertimbangkan bahwa narasi pembakaran anak sebagai kurban seperti ini bukanlah hal yang baru dalam tradisi agama Yahudi, Islam, maupun Kristen. Abraham yang dipuja sebagai "bapak dari semua agama," hampir saja membakar putranya, Ishak, yang menurut Alkitab diminta oleh Allah darinya. Perbuatan Abraham tersebut, dalam kacamata orang yang percaya, tidak dianggap sebagai sebuah ritual aliran sesat, melainkan dipuji sebagai bukti dari kepercayaan dan penyerahan diri yang mutlak kepada Allah.

Perbuatan yang sama -- membakar seorang anak sebagai kurban -- membawa dua reaksi yang berbeda: kagum dan puji kepada Abraham, tapi amarah dan kejijikan kepada Lia Aminuddin. Jelas bahwa perbedaan ini tidak pada perbuatannya, tetapi pada si penglihat (in the eye of the beholder). Mereka yang menganut agama Abraham akan memuji tindakannya. Mereka yang tidak percaya kepada ajaran Lia Aminuddin akan mengutuk perbuatannya.

Kemurkaan manusia dalam menanggapi orang-orang yang mengaku Tuhan, utusan Tuhan, penjelmaan malaikat, atau yang sejenisnya, membuatku jadi bertanya-tanya. Jika Yesus sendiri yang telah melakukan berbagai keajaiban -- membuat air menjadi anggur, memerintahkan taufan dan ombak untuk diam, menyembuhkan yang sakit, membangkitkan yang lumpuh, dan menghidupkan yang mati -- telah dihukum, dicerca, disiksa, dan disalibkan karena mengaku sebagai Tuhan; maka yang bagaimanakah yang bisa kita terima sebagai Tuhan?

Mungkin Tuhan yang kita ciptakan dalam imaginasi kita telah terlampau ideal, sehingga kita tidak bisa lagi menerima yang kurang daripada itu. Mungkin kita masih menantikan seorang pria agung berjubah putih, bermahkota berlian, berkendaraan kereta kencana, diiringi malaikat-malaikat agung. Mungkin dalam citra feudal-magistik seperti ini kita berharap melihat Tuhan. Yesus yang hanya anak seorang tukang kayu itu jelas tidak cukup sophisticated untuk menjadi Tuhan. Dia terlalu biasa.

Kita yang sekarang mengaku sebagai pengikut Kristus, bisakah kita menemukan Tuhan di dalam yang "biasa" seperti itu? Mampukah kita melihat Tuhan dalam diri sesama kita, sebagaimana diajarkan oleh Yesus untuk mengasihi sesama seperti kita mengasihi diri sendiri? Besar kemungkinan kita masih tidak akan mengenali Yesus jika dia datang hari ini.