dua minggu belakangan ini aku hampir gak pernah di rumah. mulanya karena workshop 3 hari yg diselenggarakan universitas keio, dengan nobuto sebagai salah satu penanggung jawab. pesertanya adl mahasiswa2 doktoral yg studi ttg nasionalisme di asia. mereka datang dr hongkong, cina, korea, filipin, malaysia, kanada, usa dan jepang sendiri. sayang sekali tdk ada dr indonesia, padahal semua ongkos tiket roundtrip, hotel dan excursion di tokyo ditanggung oleh universitas.
ada 2 hari utk public lectures, dengan keynote speakers ben anderson dan nicholas dirks. nobuto berhasil membujuk dosen pembimbingnya di cornell utk turun gunung ke tokyo. apalagi karena topiknya nasionalisme -- siapa lagi yg lebih pantas drpd ben? utk speaker ke 2, awalnya aku sarankan aihwa ong, tapi jadwal doi sdh penuh pd tanggal2 tsb. akhirnya kami dapatkan dirks yg pakar postcolonial studies dan south asia (utk mengimbangi ben yg lebih berat ke southeast asia).
dari jumlah pengunjung, terlihat bhw orang jepang tdk begitu peduli pada south asia -- which is weird -- karena pamor india sbg kekuatan ekonomi sdg naik. mungkin juga karena ben lebih punya nama dan lebih piawai dlm comparative analysis -- doi bisa ngomong dr soal taiwan sampe latin amerika sampe eropa. gak heran selama di sini para mahasiswa memperlakukan doi spt rock star -- dari peserta workshop sampai pengunjung lecture pada minta tanda tangannya (bahkan ada yg minta tanda tangan di secarik kertas).
hari terakhir doi di keio secara kebetulan udara menjadi hangat dan bunga2 sakura mulai bermekaran. bertiga kami jalan2 di halaman kuil zoujoji di bawah tokyo tower. hari itu banyak orang ber-hanami, yaitu duduk berkelompok di bawah sakura sambil minum bir atau sake, makan dan karaoke. kami hanya minum bir sambil ngobrol, rupanya ben alergi dengan karaoke (walaupun di antara kami, mungkin cuma nobuto yg bisa nyanyi). di zoujoji rupanya ada kubur utk keluarga ieyasu tokugawa dan sepotong organ tubuh sang shogun. utk menghormati tokugawa sbg penyatu jepang, bagian2 tubuhnya dikuburkan di berbagai penjuru.
hal ini lantas menjadi bahan lelucon kami. penguasa2 jaman dulu kebanyakan beristri banyak, kataku, i wonder kalau mereka juga di-ieyasu-kan sesudah mati -- yaitu anggota2 tubuhnya dibagi-bagi antara istri2nya. ben tertawa dan bilang, karena itu bagusnya dikremasi saja sesudah mati spy gak repot. walaupun dikremasi tetap saja bisa dibagi-bagi, jawabku, sehingga surat wasiatnya bisa berbunyi: untuk istri pertama 300 gram abu dan 30 gram emas, utk istri kedua 200 gram abu dan 20 gram emas, dst.
fantasi2 gila ini berakhir waktu ben dijemput kawannya, seorang dosen bahasa indonesia yg baru selesai menerjemahkan novel pram rumah kaca ke dalam bahasa jepang. menurut oshikawa-sensei, pram sulit menang nobel prize karena terjemahan bahasa inggris novel2nya sangat buruk.
(bersambung)